Jumat, 10 Juni 2011

Dokter Keluarga

Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinyu, menutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi keterampilan dan keilmuan yang mapan. Pelayanan Dokter Keluarga melibatkan Dokter Keluarga (DK) sebagai penyaring di tingkat primer, dokter Spesialis (DSp) di tingkat pelayanan sekunder, rumah sakit rujukan, dan pihak pendana yang kesemuanya bekerja sama dibawah naungan peraturan dan perundangan. Pelayanan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.

Tugas Dokter Keluarga
:
1) Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan, 2) Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat, 3) Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit, 4) Memberikan pelayanan kedokteran kepada individu dan keluarganya, 5) Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi, 6) Menangani penyakit akut dan kronik, 7) Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS, 8) Tetap bertanggung-jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS, 9) Memantau pasien yang telah dirujuk atau di konsultasikan, 10) Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya, 11) Mengkordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien, 12) Menyelenggarakan rekam Medis yang memenuhi standar, 13) Melakukan penelitian untuk mengembang ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus.

Wewenang Dokter Keluarga:
1) Menyelenggarakan Rekam Medis yang memenuhi standar, 2) Melaksanakan pendidikan kesehatan bagi masyarakat, 3) Melaksanakan tindak pencegahan penyakit, 4) Mengobati penyakit akut dan kronik di tingkat primer, 5) Mengatasi keadaan gawat darurat pada tingkat awal, 6) Melakukan tindak prabedah, beda minor, rawat pascabedah di unit pelayanan primer, 7) Melakukan perawatan sementara, 8) Menerbitkan surat keterangan medis, 9) Memberikan masukan untuk keperluan pasien rawat inap, 10) Memberikan perawatan dirumah untuk keadaan khusus.

Kompetensi Dokter Keluarga:
Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus inilah yang perlu dilatihkan melalui program perlatihan ini. Yang dicantumkan disini hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis besar. Rincian memgenai kompetensi ini, yang dijabarkan dalam bentuk tujuan pelatihan, akan tercantum dibawah judul setiap modul pelatihan yang terpisah dalam berkas tersendiri karena akan lebih sering disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran.
a) Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga, b) Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan kedokteran keluarga, c) Menguasai ketrampilan berkomunikasi,
menyelenggarakan hubungan profesional dokter- pasien untuk :
(a) Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga, (b) Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk berkerjasana menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga, (c) Dapat bekerjasama secara profesional secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran/kesehatan.
A. Memiliki keterampilan manajemen pelayanan kliniks.
a) Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa pelayanan untuk menyelesaikan. masalahnya, b) Menyelenggarakan pelayan kedokteran keluarga yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan.
B. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spritual.
C. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan pelayanan kesehatan termasuk sistem pembiayaan (Asuransi Kesehatan/JPKM).
Klinik dokter Keluarga ( KDK )
a) Merupakan klinik yang menyelenggarakan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK), b) Sebaiknya mudah dicapai dengan kendaraan umum. (terletak di tempat strategis), c) Mempunyai bangunan yang memadai, d) Dilengkapi dengan saraba komunikasi, e) Mempunyai sejumlah tenaga dokter yang telah lulus pelatihan DK, f) Mempunyai sejumlah tenaga pembantu klinik dan paramedis telah lulus perlatihan khusus pembantu KDK, g) Dapat berbentuk praktek mandiri (solo) atau berkelompok. h) Mempunyai izin yang berorientasi wilayah, i) Menyelenggarakan pelayanan yang sifatnya paripurna, holistik, terpadu, dan berkesinambungan, j) Melayani semua jenis penyakit dan golongan umur, k) Mempunyai sarana medis yang memadai sesuai dengan peringkat klinik ybs.
Sistem Pelayanan Dokter Keluarga ( SPDK )
Untuk menunjang tugas dan wewenang nya diperlukan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga yang terdiri atas komponen :
a) Dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan primer di klinik Dokter Keluarga (KDK), b) Dokter Spesialis yang menyelenggarakan pelayanan sekunder di klinik Dokter Spesialis (KDSp), c) Rumah sakit rujukan, d) Asuransi kesehatan/ Sistem Pembiayaan, e) Seperangkat peraturan penunjang.
Dalam sistem ini kontak pertama pasien dengan dokter akan terjadi di KDK yang selanjutnya akan menentukan dan mengkoordinasikan keperluan pelayanan sekunder jika dipandang perlu sesuai dengan SOP standar yang disepakati. Pasca pelayanan sekunder, pasien segera dirujuk balik ke KDK untuk pemantauan lebih lanjut. Tata selenggarapelayanan seperti ini akan diperkuat oleh ketentuan yang diberlakukan dalam skema JPKM/asuransi.
JPKM
Untuk efisiensi pembiayaan dan menjaga mutu pelayanan dokter keluarga, ditetapkan JPKM. JPKM merupakan sistem pemeliharaan kesehatan menyeluruh yang terjamin mutunya dengan pembiayaan praupaya . uraian tentang JPKM mencakup sbb :
a) Latar belakang (masalah pelayanan dan pembiayaan kesehatan) JPKM dirumuskan sebagai upaya dirumuskan sebagai upaya Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap akses pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan yang juga mengacam penurunan mutunya. Setelah bertahun-tahun terhadap pelbagai bentuk pemeliharaan kesehatan mancanegara, disadari bahwa pembayaran tunai langsung dari kocek konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan pemberi pelayanan kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan . karena itu, dalam sitem JPKM dirumuskan keterlibatan masyarakat untuk membiayai kesehatan dengan iuran dimuka, keterlibatan pihak ketiga sebagai badan penyelenggara yang bertanggungjawab mengelola iuran secara efisien, keterlibatan sarana pelayanan kesehatan untuk melaksanakan layanan bermutu namun ekonomis (cost- effrctive) dengan pembayaran Pra-upaya, dan keterlibatan pemerintah sebagai badan pembina yang mengarahkan hubungan saling menguntungkan antar para pelaku JPKM tersebut. Dengan demikian, JPKM yang dalam UU No .23/1992 dinyatakan sebagai suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna, berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin, serta dengan pembiayaan yang dilaksanakan secara pra- upaya, pada hakekatnya adalah sistem pemeliharaan kesehatan yang memadu kan penataan subsistem pelayanan dengan subsistem pembiayaan kesehatan. Tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dengan menjaga mutu pelayanan dan mengendalikan biaya pelayanan sehingga tidak menghambat akses masyarakat.b) Beberapa bentuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan (tunai-langsung atau fee for service, asuransi ganti-rugi, asuransi dengan taguhan provider, pelayanan kesehatan terkendali (managed care). Dalam JPKM pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pelbagai sarana dan/atau penyelenggara Pemeluharaan Kesehatan atau pemberi Pelayanaan Kesehatan (PPK) yang dikontrak oleh Bapel serta dibayar secara pra-upaya. Dengan pembayaran secara pra-upaya, ppk didorong untuk merencanakan pelayanan kesehatan berdasarkan profil peserta dan efesiensi (cost- effectiveness), Hal ini akan mendorong penerapan standar pelayanan dan upaya jaga mutu yang akan memelihara dan meningkatkan taraf kesehatan peserta. c) JPKM sebagai bentuk pelayanan kesehatan terkendali di Indonesia (pengertian, para pelaku, tujuh jurus, program pengembangan : visi-misi-strategi-swot-tujuan-kegiatan-hasil-arah pengembangan selanjutnya). d) Peran dokter keluarga dalam JPKM (pelayanan tingkat pertama yang bermutu segai ujung tombak JPKM, health-resource-alocator terpecaya bagi keluarga).

Perbedaan antara Dokter dan Dokter Keluarga
Submitted by hadinata on Saturday, 12 June 2010No Comment
0718074p
Oleh :
Dr. Sugito Wonodirekso, MS, PHK. PKK, Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia, Kabid. Pendidikan dan Penelitian
Perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki sistem apapun yang sudah berjalan hampir selalu – pada awalnya – mendatangkan “kerancuan”. Demikian pula perubahan dalam pendidikan kedokteran dasar dan sistem pelayanan kesehatan. Penulis mencoba mengemukaan wacana ini dalam upaya membantu menjernihkan kerancuan yang ada yang menyangkut pengertian tentang definisi, kompetensi, dan kewenangan dokter layanan primer.
A. Dokter
“Dokter” dalam wacana ini diberi tanda kutip karena merupakan istilah bukan sebutan umum. Gelar “Dokter” diberikan kepada:
1. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya.
2. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI III sebelum menjalani program internsip. Mereka memperoleh gelar “Dokter” karena sudah mampu melaksanakan tugas sebagai dokter layanan primer akan tetapi “belum mahir” melaksanakannya sehingga masih memerlukan “proses pemahiran” dalam program internsip. “Dokter” seperti itu telah mendapat “Sertifikat Kompetensi” dari KDI. Sertifikat kompetensi ini bersifat sementara dan hanya digunakan untuk mendaftarkan diri ke KKI agar memperoleh “Surat Tanda Registrasi” (STR) sementara yang diperlukan untuk dapat “praktik atas nama sendiri di bawah seliaan (supervisi) – dokter senior yang bersertifikat sebagai penyelia – di klinik tempatnya menjalani internsip”. Dengan kata lain STR itu hanya berlaku sementara sepanjang masa internsip dan hanya di klinik tertentu (terakreditasi) tempatnya menjalani program internsip. Jika tempat internsip itu terdiri atas sejumlah klinik layanan primer, maka STR itu hanya berlaku di klinik-klinik tersebut. “Dokter” seperti ini belum boleh menyelengarakan praktik mandiri sebagai penyelenggara layanan kesehatan primer.
3. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI III setelah menjalani program internsip. Mereka tetap menggunakan gelar “Dokter” karena tingkat kemampuannya sama dengan mereka yang belum menjalani internsip. Bedanya mereka diangap “telah mahir” menggunakan kemampuannya itu karena telah menjalani internsip. Untuk itu mereka memperoleh “Sertifikat Kompetensi” dari KDI – yang berlaku sampai dengan saat registrasi ulang berikutnya – sebagai penyelengara layanan kesehatan primer karena diangggap “sudah mahir” melaksanakannya. Serifikat Kompetensi itulah yang memungkinkan mereka mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk legalitas praktik mandirinya sebagai dokter layanan primer. Proses pemahiran melalui program internship ini sangat penting untuk menjamin mutu layanannya.
Jadi, “Dokter” adalah predikat akademik-profesional yang diberikan kepada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di institusi pendidikan kedokteran dasar. Bagi mereka yang dididik menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya, belum diwajibkan untuk menjalani internsip, karena kepaniteraan yang cukup panjang selama pendidikan dianggap cukup memadai. Oleh karena itu setelah lulus sebagai “dokter”, langsung diberi wewenang untuk menjalankan praktik kedokteran mandiri yang menangani masalah kesehatan tingkat primer tanpa memandang jenis penyakit, golongan usia, organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya.
Dari cakupan layannya yang luas itu lahirlah sebutan “Dokter Umum” yang menjalankan “Praktik Umum” yang selama ini dikenal masyarakat. Perlu ditekankan di sini, sebenarnya kedua sebutan itu diciptakan atau diberikan oleh masyarakat dan bukan oleh institusi pendidikan kedokteran dasar. Kedua istilah tadi diperlukan untuk membedakannya dengan dokter spesialis yang praktiknya dibatasi oleh jenis penyakit, golongan usia, jenis kelamin, dan jenis organ. Hal itu diperjelas oleh kenyataan bahwa dalam ijazah yang diperoleh dari intitusi pendidikan kedokteran dasar gelarnya adalah “Dokter”. Semua institusai pendidikan kedokteran dasar sepakat bahwa “Dokter” tersebut (yang lulus dari institusi pendidikan kedokteran dasar menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya) dianggap belum mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga karena pendidikannya yang “community oriented”, menerapkan paradigma sakit (disease oriented), dan menganggap pasien sebagai “kumpulan organ”. Selain itu harus diakui bahwa selama ini kompetensi “dokter” belum terformulasikan dengan jelas dan sebagai konsekuensinya batasan “layanan primer” yang menjadi wewenangnya juga belum jelas. Walaupun demikian, secara tersirat sudah tampak pada “Tanggung Jawab Dokter di Indonesia” dan TIU dan TPK yang tercantum dalam KIPDI I dan II.
“Dokter” juga merupakan gelar akademik-professional yang diberikan kepada para lulusan institusi pendidikan yang menggunakan KIPDI III sebelum dan setelah menjalani internsip selama paling kurang 1 tahun. “Dokter” lulusan KIPDI III (baru lulus sekitar tahun 2010) mempunyai wewenang yang sama dengan “dokter” pendahulunya yaitu sebagai penyelenggara layanan kesehatan tingkat pertama (primer), tanpa memandang jenis penyakit, golongan usia, 2
organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya. Pembedanya adalah bahwa “Dokter” cetakan KIPDI III ini sekaligus telah mampu menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga dalam praktiknya. Kemampuan itu diperoleh selama pendidikan dokter di institusi pendidikan kedokteran dasar. Hal itu dimungkinkan karena proses pendidikannya yang “competency based” dan “family medicine based” yang memandang individu seutuhnya sebagai bagian integral dari keluarga, komunitas, dan lingkungannya.
Berbeda dengan KIPDI I dan II, dalam KIPDI III jelas tercantum kompetensi yang harus dicapai selama pendidikan yang meliputi tujuh area kompetensi atau kompetensi utama yaitu:
1. Keterampilan komunikasi efektif.
2. Keterampilan klinik dasar.
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktik kedokteran keluarga.
4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer.
5.Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi.
6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat.
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.
Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah “kemampuan dasar” seorang “dokter” yang menurut WFME (World Federation for Medical Education) disebut “basic medical doctor”. Untuk menjamin pencapaian ketujuh area kompetesi itu diperlukan kepaniteraan (untuk mencapai kompetensi sebagai dokter layanan primer yang menerapkan pendekatan kedokteran keluarga) dan internsip (untuk pemahiran kompetensi yang telah diperolehnya). Agar lebih menjamin kemampuan dan kemahiran tadi, maka kepaniteraan dan internsip sebaiknya atau seharusnya diselenggarakan di tempat layanan primer yang menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga yang terdiri atas:
1. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
2. Pelayanan yang kontinu
3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
5. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya
6. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya
7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika, moral. dan hukum
8. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu
9. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertangungjawabkan
Jika diperhatikan, penguasaan ketujuh arena kompetensi tadi akan menjamin kemampuan dokter menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga karena pada dasanya prinsip-prinsip kedokteran keluarga dapat diterapkan secara sempurna jika ketujuh area kompetensi tadi tercapai.
Perlu ditekankan di sini bahwa penerapan prinsip-prinsip kedokteran keluarga bukan hanya menjadi tanggung jawab “dokter” dan atau “Dokter Keluarga” saja melainkan juga menjadi tanggung jawab setiap dokter di semua tingkat layanan, primer, sekunder, dan tersier. Hanya saja “dokter” dan atau “Dokter Keluarga” bertanggung jawab menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga di layanan primer sedangkan dokter spesialis di layanan sekunder dan tersier dalam Sistem Kesehatan Nasional. Jika hal itu disadari maka “Sistem Pelayanan Dokter Keluarga” – akan dijelaskan kemudian – akan dapat terlaksana secara baik.
Jadi, secara akademik-profesional, yang dimaksud dengan “Dokter” (lulusan KIPDI-3) adalah lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang belum menjalani program internsip – sehingga belum berwenang menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri – dan yang telah menyelesaikan program internsip dan memperoleh surat tanda registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia – sehingga berwenang menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri.
Secara operasional “dokter” dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Dokter” adalah tenaga kesehatan (dokter) tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi – tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin – sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral”. Layanan yang diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran dasar. 3
B. Dokter Keluarga
Dalam wacana berkut yang dimaksud dengan “dokter” adalah lulusan pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I, II, dan III dan sebelumnya.
Harus disadari layanan kesehatan tingkat primer bukan layanan kesehatan yang sederhana seperti anggapan banyak orang selama ini. Kenyataannya masalah kesehatan yang dihadapi di layanan primer sangat kompleks dan luas serta membutuhkan pemahaman dasar ilmu kedokteran dan ilmu sosial yang luas dan dalam, seperti yang disyaratkan dalam tujuh area kompetensi yang harus dicapai. Penyakit atau masalah yang dihadapi masih belum spesifik sehingga penguasaan ketujuh area kompetensi sangat diperlukan. Sebagai konsekuensi kekhususan masalah yang dihadapi itu, maka telah diterbitkan buku ICPC (International Classification of Primary Care) yang lebih berorientasi pada “keluhan yang membawa pasien ke dokter”. Buku ini berbeda dengan ICD (International Classification of Diseases) yang lebih cocok untuk keperluan layanan sekunder yang lebih mendasarkan klasifikasinya pada penyakit atau diagnosis.
Karena kekhususan dan kekompleksan masalah yang dihadapi oleh dokter layanan primer, diperlukan perluasan dan pendalaman ilmu dan keterampilan “dokter” (layanan primer). Harus disadari bahwa pendidikan kedokteran dasar tidak memungkinkan – karena keterbatasan waktu studi – pencetakan “dokter” yang menguasai ilmu dan keterampilan dokter layanan primer yang lebih luas dan dalam. Oleh karena itu “dokter” harus mengikuti pendidikan tambahan atau lanjutan khusus agar mempunyai kemampuan sebagai dokter layanan primer yang memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan primer yang bermutu tinggi. Untuk membedakan dokter layanan primer yang disebut “dokter” yang baru selesai menjalani internsip dengan “dokter” yang telah menjalani pendidikan khusus, diperlukan predikat yang berbeda yaitu “Dokter Keluarga”.
Dengan demikian “Dokter Keluarga” - disingkat DK – secara akademik-profesional didefinisikan sebagai “dokter” yang memperoleh pendidikan lanjutan khusus untuk menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga dengan cakupan ilmu dan keterampilan yang lebih luas dan dalam sebagai DokterLayanan Kesehatan Tingkat Primer.
Untuk keperluan operasional DK dapat didefinisikan sebagai “tenaga kesehatan (dokter) tempat kontak pertama pasien dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi – tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin – sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral”. Layanan yang diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar kedokteran ditambah dengan kompetensi dokter layanan primer yang diperoleh dalam pendidikan lanjutan khusus.
Definisi di atas persis sama dengan definisi “Dokter” namun demikian “batas kewenangan DK lebih luas” karena DK telah menjalani pendidikan lanjutan khusus. Pascapendidikan lanjutan khusus itu, “Dokter” ybs memperoleh sertifikat kompetensi sebagai “Dokter Keluarga” yang diterbitkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga untuk mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk legalitas praktiknya.
• Pendidikan lanjutan khusus maksudnya: Pendidikan lanjutan yang dirancang khusus untuk mencapai tingkat kompetensi tertentu yang lebih tinggi sebagai dokter layanan primer, yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Kedokteran Bersinambung/ Pengembangan Profesional Bersinambung (PKB/PPB atau CME/CPD) yang terstruktur. Setelah mencapai “angka kredit tertentu” mereka berhak menyandang gelar “Dokter Keluarga” dan berwenang sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer dengan wewenang yang lebih luas.
• Yang dimaksud dengan Pelayanan Kesehatan Tingkat Primer adalah penyelengaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tempat kontak pertama pasien dengan dokter untuk menyelesaikan masalah kesehatan secara dini, optimal, paripurna, dan menyeluruh. Pelayanan kesehatan tingkat primer diselenggarakan oleh 3 kelompok dokter layanan primer yang diuraikan berikut ini.
Dalam kurun waktu 5 tahun mendatang, kita akan mempunyai atau akan menghadapi 3 kelompok dokter yang semuanya adalah dokter layanan primer yaitu:
1. “Dokter” lulusan KIPDI 1 dan 2 dan sebelumnya
2. “Dokter” lulusan KIPDI 3 pasca-internsip
3. “Dokter Keluarga”
Untuk memudahkan maka semua dokter kelompok-1 akan diberi gelar Diploma Dokter Keluarga yang disingkat DDK setelah menjalani program konversi yang diselenggarakan oleh “Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia” bersama “Kolegium Dokter Indonesia”. Kelompok-2 disebut “Dokter” dan kelompok-3 disebut “Dokter Keluarga”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar